Sabtu, 04 Oktober 2008

Airlangga Hartarto, ketua umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Bicara Prospek Pasar Modal Domestik : Butuh Lebih Banyak Investasi Jangka Panjang

[JAWA POS] - Pasar modal domestik ikut limbung terimbas krisis finansial global. Agar tak terpuruk lebih dalam, pasar modal Indonesia butuh investasi jangka panjang. Mengapa? Berikut petikan wawancara wartawan Jawa Pos Eri Irawan dengan Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ir H Airlangga Hartarto MMT MBA :

Apa prioritas program AEI?

Kami terus mendorong penerapan good corporate governance. Itu syarat mutlak untuk menciptakan dunia bisnis yang lebih baik lagi. Kita juga sudah berhasil mendorong penerapan pajak yang lebih rendah.

Sejauh mana AEI mampu berperan dalam mendorong pasar modal kita?

Sudah cukup bagus, tapi harus terus didorong. Misalnya, dalam pembuatan regulasi, AEI sudah dilibatkan sejak awal. Posisi tawar asosiasi di mata otoritas bursa terus membaik. Kita juga mampu mendorong kebijakan perpajakan yang lebih ramah bagi pasar modal.

Bagaimana Anda memandang posisi pasar modal dalam pengembangan perekonomian?

Sangat strategis, semua negara yang perekonomiannya maju, pasti ditopang oleh pasar modal yang kuat. Saya ingin menegaskan, tak ada dikotomi antara pasar modal dan sektor riil. Pasar modal itu sektor riil. Lihat saja, semua emiten itu kan champion-nya di masing-masing sektor. Misalnya, di sektor pertambangan, champion-champion-nya listing di bursa. Itu semua riil, ada pegawainya, ada lahannya, dan sebagainya.

Bursa memerah sangat dalam, padahal kondisi fundamental emiten masih sangat kokoh. Apa sebenarnya sentimen positif yang bisa kembali menggerakkan saham-saham emiten? Lewat aksi korporasi, mungkin?

Sentimen positif tidak akan bisa diberikan oleh emiten-emiten, terutama lewat aksi korporasi yang biasanya bisa memulihkan bursa. Mau aksi korporasi bagaimana? Kalau ekspansi kan butuh pendanaan. Padahal, lembaga keuangan dan investasi sekarang semua kesulitan. Mau pakai duit apa untuk aksi korporasi?

Kondisi bursa yang seperti ini menunjukkan bahwa investor kita masih sangat berparadigma jangka pendek?

Bisa dikatakan demikian. Karena itu, kita butuh investasi jangka panjang. Itu hanya bisa didapatkan dari dana pensiun-dana pensiun. Regulasi harus mendorong tumbuhnya dana pensiun. Kalau investor lokal kita banyak didominasi oleh dana pensiun, tentu akan jauh lebih baik. Sebab, horizon investasi dari mereka kan sangat jangka panjang, tidak akan melihat volatilitas jangka pendek.

Otoritas bursa menerbitkan sejumlah regulasi di tengah kondisi pasar yang bearish. Ada harapan itu bisa menyuntikkan sentimen positif ke pasar.

Sebenarnya bagus, tapi ada beberapa yang terlambat. Misalnya, pelarangan short selling. Pasar sudah telanjur bearish, itu seharusnya dilakukan ketika pasar masih bullish.

Tapi, khusus yang relaksasi IPO (initial public offering, Red) cukup bagus. Itu membuat perusahaan-perusahaan yang mau go public punya waktu lebih untuk melihat momentum pasar, menyesuaikan dengan risiko-risiko yang ada.

Dari sudut pandang emiten, apa yang sebenarnya menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia masih belum mau go public?

Salah satunya, dan ini harus diakui, adalah bursa masih kurang menarik bagi perusahaan untuk mendapatkan pendanaan. Jadi, bukan masalah budaya tidak mau transparan. Yang penting bagi pengusaha adalah mencatat kinerja bagus, tidak mungkin mereka mau perusahaannya dikelola ala kadarnya. Bahwa perusahaan keluarga tidak mau transparan, itu keliru.

AEI ikut mendorong UMKM masuk ke bursa?

Secara prinsip, iya. Tapi, kita harus realistis. Masalahnya, di bursa itu kan perdagangan di secondary market. Otomatis, yang diincar adalah saham-saham blue chip. Artinya, kalau UMKM masuk saja, tapi tidak likuid, ya percuma saja.

Sebagai pengusaha, saat ini sektor finansial sedang limbung, apa sumber pendanaan yang bisa diandalkan?

Cukup sulit karena semua lembaga keuangan sedang kesulitan. Modal ventura juga kurang berkembang. Namun, sebenarnya solusi pendanaan ada pada instrumen syariah.

Karena produk jasa keuangan syariah tak terkait dengan subprime mortgage?

Benar, memang instrumen syariah ini tidak ada hubungannya dengan subprime mortgage. Karena itu, syariah tentu menjadi solusi. Tapi, instrumen ini kurang berkembang karena kita masih ribut soal pajak ganda. Padahal, Malaysia sudah berbenah sejak 1970-an, kita baru giat sekarang. Kuncinya untuk pengembangan instrumen syariah ini hanya satu, regulasinya diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar