Kamis, 09 Oktober 2008

Rugi Ratusan Juta, Lega Bisa Istirahatkan Jantung: Mereka yang Degdegan Saat Bursa Terjun Bebas

[JAWA POS] - Harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin rontok terkena dampak lanjutan krisis finansial di Amerika. Akibatnya, otoritas bursa terpaksa menghentikan perdagangan. Inilah potret beberapa investor yang sport jantung sejak pagi.

DUA laptop milik Ramson Siagian sejak pagi kemarin terus hidup. Lewat peranti canggih itu mata anggota DPR tersebut hampir tak berkedip memantau pergerakan harga saham di BEI.

Ramson adalah satu dari sedikit orang di Indonesia yang pemain aktif di pasar modal. Tahun lalu, bersamaan dengan booming bursa di tanah air, dia mendapat keuntungan lumayan besar. Besarnya setara gaji setahun plus tunjangan yang dia terima selama satu tahun sebagai wakil rakyat di Senayan.

Namun, pada Rabu "kelabu" kemarin, peruntungan itu berubah 180 derajat. "Semua investor menghadapi situasi yang kacau balau, karena harga semua saham anjlok," ujarnya.

Anggota Komisi XI DPR itu enggan menyebut berapa persis kerugian yang diderita akibat gonjang-ganjing di BEI beberapa hari terakhir. Alasannya, seorang investor tidak akan pernah mau mengutarakan kerugian yang dia alami. "Itu tidak etis. Yang jelas, kalau untungnya saja bisa ratusan juta, kerugiannya juga bisa segitu," lanjutnya.

Menurut Ramson, keputusan BEI menghentikan perdagangan saham pukul 11.08 kemarin merupakan pilihan terbaik. Meski kondisi pasar menjadi stagnan, hal itu cukup membantu untuk tidak makin merugikan investor. "Setidaknya kita bisa tidur nyenyak. Istirahatkan jantung dulu, sebelum pasar kembali dibuka. Ambil napas dululah," ungkapnya,

Dalam situasi seperti itu, pria yang selalu membawa laptop -termasuk saat bermobil- untuk memantau pergerakan harga saham itu mengakui sebagian besar investor sudah mengalami potential loss.

"Kalau sahamnya belum dijual tapi posisinya sudah rugi, ya berarti potential loss. Tapi, ada juga yang sudah berani jual rugi dalam kondisi ini," katanya.

Sebagai investor, dia harus berani menanggung risiko apa pun, termasuk merugi dalam jumlah sangat besar. Itu sudah menjadi risiko semua orang yang bermain saham. "Bisa saja saat ini kekayaan melimpah, tapi besok tiba-tiba bangkrut karena harga semua saham turun drastis. Kalau seperti sekarang ini, mana ada (investor) yang tidak rugi, " tuturnya.

Kunci bermain saham, kata dia, harus cepat mengambil keputusan untuk buy (membeli) atau sell (menjual). Meski begitu, ketenangan berpikir dan kesabaran juga harus tetap ada. Karena itu, dia menyediakan dua laptop untuk mendukung profesi "sambilan"-nya tersebut. "Pas harga naik turun nggak boleh lepas dari laptop. Kalau satunya mati, bisa ganti laptop satunya lagi," tambahnya.

Ramson berharap kondisi pasar kembali membaik, setidaknya sampai harga saham yang dimiliki mencapai titik impas. "Kita nggak lagi mikir keuntungan kalau sudah begini. Yang penting harganya balik saja," harapnya.

Meski begitu, dia yakin kondisi pasar saham kembali normal seperti sedia kala. Sebab, fundamental ekonomi dan emiten yang ada sekarang ini cukup baik. Ini berbeda dengan kondisi pada krisis ekonomi 1998. "Dulu (1998) itu pas banyak utang (dalam valuta asing) perusahaan yang jatuh tempo. Sekarang emiten-emiten itu kan sehat, jadi saya yakin pasti harganya bisa kembali," katanya optimistis.

Menurut dia, ketidakstabilan pasar saham Indonesia saat ini diakibatkan masih besarnya porsi dana asing yang menguasai pasar. Saat dampak krisis keuangan AS meluas, banyak investor asing dari Eropa, Jepang, atau Asia lainnya yang menarik dana. "Yang kecil lalu ikut-ikutan," jelasnya.

Investor domestik lainnya, Airlangga Hartarto, juga mengakui bahwa saat ini banyak investor yang rugi, terutama investor individu. Tapi, investor institusi masih banyak yang bertahan. Ini karena investor individu tidak banyak memiliki pengetahuan soal saham. "Banyak yang panik kemudian ikut-ikutan menarik sahamnya," ungkapnya.

Ir H Airlangga Hartarto MMT MBA yang juga ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) itu menilai kepanikan itulah yang menyebabkan investor menderita kerugian luar biasa.

"Ada yang berani jual meski ruginya banyak sekali. Ini yang menyebabkan bursa jatuh. Kalau menurut saya, nggak usah disebut angka-angka (kerugian) itu," cetusnya.

Airlangga berharap penghentian perdagangan pasar modal berlangsung hingga Jumat. Artinya, perdagangan baru dimulai lagi Senin depan. Sebab, jika pemerintah tidak memiliki formula yang jitu untuk mengatasi, percuma perdagangan bursa kembali dibuka. "Biar saja di-suspend lama, yang penting investor selamat. Bukan tambah hancur," jelasnya.

Seperti Airlangga, imbas krisis keuangan Amerika Serikat yang merontokkkan bursa dunia dan Indonesia itu juga berimbas ke kehidupan M.A. Aristyawan. Investor yang beberapa tahun belakangan aktif mengadu peruntungan di pasar modal itu terpaksa gigit jari dalam empat bulan terakhir. Indeks Harga Saham Gabungan kemarin ambrol ke level 1.451, dengan hanya membukukan nilai transaksi total Rp 952,16 juta.

Aristyawan memiliki sekitar 20 saham yang tersebar di berbagai sektor seperti perbankan, komoditas, properti, hingga infrastruktur. Kendati demikian, dia enggan menyebutkan besaran dana yang dihabiskan untuk membeli saham.

"Saya tidak mau cut loss (menjual sekarang untuk menghindari kerugian lebih besar). Daripada saya jual rugi, lebih baik saya tidak bertransaksi dulu. Sudah sekitar empat bulan saya pasif di pasar modal," ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai dokter itu.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Airlangga Hartarto, ketua umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Bicara Prospek Pasar Modal Domestik : Butuh Lebih Banyak Investasi Jangka Panjang

[JAWA POS] - Pasar modal domestik ikut limbung terimbas krisis finansial global. Agar tak terpuruk lebih dalam, pasar modal Indonesia butuh investasi jangka panjang. Mengapa? Berikut petikan wawancara wartawan Jawa Pos Eri Irawan dengan Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ir H Airlangga Hartarto MMT MBA :

Apa prioritas program AEI?

Kami terus mendorong penerapan good corporate governance. Itu syarat mutlak untuk menciptakan dunia bisnis yang lebih baik lagi. Kita juga sudah berhasil mendorong penerapan pajak yang lebih rendah.

Sejauh mana AEI mampu berperan dalam mendorong pasar modal kita?

Sudah cukup bagus, tapi harus terus didorong. Misalnya, dalam pembuatan regulasi, AEI sudah dilibatkan sejak awal. Posisi tawar asosiasi di mata otoritas bursa terus membaik. Kita juga mampu mendorong kebijakan perpajakan yang lebih ramah bagi pasar modal.

Bagaimana Anda memandang posisi pasar modal dalam pengembangan perekonomian?

Sangat strategis, semua negara yang perekonomiannya maju, pasti ditopang oleh pasar modal yang kuat. Saya ingin menegaskan, tak ada dikotomi antara pasar modal dan sektor riil. Pasar modal itu sektor riil. Lihat saja, semua emiten itu kan champion-nya di masing-masing sektor. Misalnya, di sektor pertambangan, champion-champion-nya listing di bursa. Itu semua riil, ada pegawainya, ada lahannya, dan sebagainya.

Bursa memerah sangat dalam, padahal kondisi fundamental emiten masih sangat kokoh. Apa sebenarnya sentimen positif yang bisa kembali menggerakkan saham-saham emiten? Lewat aksi korporasi, mungkin?

Sentimen positif tidak akan bisa diberikan oleh emiten-emiten, terutama lewat aksi korporasi yang biasanya bisa memulihkan bursa. Mau aksi korporasi bagaimana? Kalau ekspansi kan butuh pendanaan. Padahal, lembaga keuangan dan investasi sekarang semua kesulitan. Mau pakai duit apa untuk aksi korporasi?

Kondisi bursa yang seperti ini menunjukkan bahwa investor kita masih sangat berparadigma jangka pendek?

Bisa dikatakan demikian. Karena itu, kita butuh investasi jangka panjang. Itu hanya bisa didapatkan dari dana pensiun-dana pensiun. Regulasi harus mendorong tumbuhnya dana pensiun. Kalau investor lokal kita banyak didominasi oleh dana pensiun, tentu akan jauh lebih baik. Sebab, horizon investasi dari mereka kan sangat jangka panjang, tidak akan melihat volatilitas jangka pendek.

Otoritas bursa menerbitkan sejumlah regulasi di tengah kondisi pasar yang bearish. Ada harapan itu bisa menyuntikkan sentimen positif ke pasar.

Sebenarnya bagus, tapi ada beberapa yang terlambat. Misalnya, pelarangan short selling. Pasar sudah telanjur bearish, itu seharusnya dilakukan ketika pasar masih bullish.

Tapi, khusus yang relaksasi IPO (initial public offering, Red) cukup bagus. Itu membuat perusahaan-perusahaan yang mau go public punya waktu lebih untuk melihat momentum pasar, menyesuaikan dengan risiko-risiko yang ada.

Dari sudut pandang emiten, apa yang sebenarnya menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia masih belum mau go public?

Salah satunya, dan ini harus diakui, adalah bursa masih kurang menarik bagi perusahaan untuk mendapatkan pendanaan. Jadi, bukan masalah budaya tidak mau transparan. Yang penting bagi pengusaha adalah mencatat kinerja bagus, tidak mungkin mereka mau perusahaannya dikelola ala kadarnya. Bahwa perusahaan keluarga tidak mau transparan, itu keliru.

AEI ikut mendorong UMKM masuk ke bursa?

Secara prinsip, iya. Tapi, kita harus realistis. Masalahnya, di bursa itu kan perdagangan di secondary market. Otomatis, yang diincar adalah saham-saham blue chip. Artinya, kalau UMKM masuk saja, tapi tidak likuid, ya percuma saja.

Sebagai pengusaha, saat ini sektor finansial sedang limbung, apa sumber pendanaan yang bisa diandalkan?

Cukup sulit karena semua lembaga keuangan sedang kesulitan. Modal ventura juga kurang berkembang. Namun, sebenarnya solusi pendanaan ada pada instrumen syariah.

Karena produk jasa keuangan syariah tak terkait dengan subprime mortgage?

Benar, memang instrumen syariah ini tidak ada hubungannya dengan subprime mortgage. Karena itu, syariah tentu menjadi solusi. Tapi, instrumen ini kurang berkembang karena kita masih ribut soal pajak ganda. Padahal, Malaysia sudah berbenah sejak 1970-an, kita baru giat sekarang. Kuncinya untuk pengembangan instrumen syariah ini hanya satu, regulasinya diperbaiki.